PENGANTAR
Pada tahun 1903, James Allen menulis Sebagaimana Manusia Berpikir—sebuah risalah ringkas yang menjernihkan satu kebenaran yang para bijak dan para mistikus bisikkan lintas zaman: pikiran membentuk kenyataan. Buku kecil ini bukan sekadar tuntunan moral, melainkan peta kesadaran—pengingat bahwa setiap keadaan, setiap suka dan duka, bermula sebagai benih di tanah batin yang subur.
Lebih dari seratus tahun kemudian, visi Allen tetap beriak ke segala arah. Karyanya memengaruhi generasi para pembimbing spiritual dan menjadi fondasi gerakan pengembangan diri modern. Ia juga beresonansi dengan temuan zaman kita—ketika ilmu saraf menegaskan kelenturan pikiran, dan para pencari lewat meditasi atau psikedelik menyaksikan langsung betapa lenturnya realitas: bagaimana visi batin membentuk rupa lahir.
Sebagaimana Manusia Berpikir lebih dari sebuah buku—ia adalah suatu inisiasi. Bacalah perlahan, bukan sebagai sastra belaka melainkan sebagai penyingkapan. Biarkan kalimat-kalimatnya mengingatkan engkau akan kekuatan kreatifmu, dan akan hukum yang lebih dalam yang menata hidup: sebagaimana engkau berpikir, demikianlah engkau menjadi.
DAFTAR ISI
- KATA PENGANTAR
- PIKIRAN DAN KARAKTER
- PENGARUH PIKIRAN ATAS KEADAAN
- PENGARUH PIKIRAN ATAS KESEHATAN DAN TUBUH
- PIKIRAN DAN TUJUAN
- FAKTOR PIKIRAN DALAM PENCAPAIAN
- VISI DAN IDEAL
- KETENANGAN
Catatan Penerjemah: Terjemahan ini berupaya menjaga roh dan irama aforistik James Allen: baku namun puitis, bening namun bernas. Istilah-istilah kunci diperhalus untuk kejelasan makna spiritual (mis. Visi, Hukum), sementara diksi klasik dipertahankan secukupnya agar nuansa abadannya tetap terasa.
Sebagaimana Manusia Berpikir
oleh James Allen
KATA PENGANTAR
Buku kecil ini (buah dari permenungan dan pengalaman) tidak dimaksudkan sebagai risalah tuntas tentang topik yang banyak dibicarakan: kekuatan pikiran. Ia lebih bersifat sugestif ketimbang penjelasan; tujuannya ialah membangkitkan laki-laki dan perempuan untuk menemukan dan melihat kebenaran bahwa—
“Merekalah pembentuk diri mereka sendiri.”
—berkat pikiran-pikiran yang mereka pilih dan pelihara; bahwa budi adalah penenun-utama, baik bagi busana batin—karakter—maupun bagi busana lahir—keadaan; dan bahwa jika selama ini mereka menenun dalam ketidaktahuan dan derita, kini mereka dapat menenun dalam pencerahan dan kebahagiaan.
JAMES ALLEN.
BROAD PARK AVENUE,
ILFRACOMBE,
ENGLAND
PIKIRAN DAN KARAKTER
Aforisme, “Sebagaimana manusia berpikir dalam hatinya, demikianlah ia,” bukan hanya merangkum seluruh keberadaan manusia, melainkan cukup luas untuk menjangkau setiap syarat dan keadaan hidupnya. Manusia secara harfiah adalah apa yang ia pikirkan; karakternya adalah jumlah utuh dari segenap pikirannya.
Sebagaimana tumbuhan bertunas dari benih—dan takkan ada tanpa benih—demikian setiap tindakan manusia bertunas dari benih-benih pikiran yang tersembunyi, dan takkan muncul tanpa itu. Hal ini berlaku sama bagi tindakan yang disebut “spontan” dan “tanpa rencana” maupun bagi tindakan yang dikerjakan dengan sengaja.
Tindakan ialah bunga dari pikiran, dan suka-duka ialah buahnya; demikianlah manusia menuai buah manis dan pahit dari ladangnya sendiri.
“Pikiran dalam budi membentuk kita apa adanya;
Oleh pikiran kita ditempa dan dibangun.
Bila budi manusia menyimpan pikiran jahat,
Derita mengikutinya laksana roda di belakang lembu….”
“…Namun siapa tahan
Dalam kemurnian pikiran, sukacita mengiringinya
Seperti bayangnya sendiri—pasti.”
Manusia bertumbuh menurut Hukum, bukan ciptaan oleh muslihat; dan sebab-akibat mutlak serta tak menyimpang di ranah tersembunyi—pikiran—sebagaimana adanya di dunia benda yang tampak. Karakter yang luhur dan Ilahi bukan perkara nasib baik atau kebetulan, melainkan hasil wajar dari upaya yang berlanjut dalam berpikir benar, akibat dari persahabatan lama dengan pikiran-pikiran Ilahi. Sebaliknya, karakter hina dan kebinatangan, melalui proses yang sama, lahir dari pemeliharaan terus-menerus terhadap pikiran rendah.
Manusia membangun atau meruntuhkan dirinya sendiri; di perbengkelan pikiran ia menempa senjata yang dengannya ia membinasakan diri; ia juga membentuk alat untuk membangun bagi dirinya kediaman surgawi berupa sukacita, kekuatan, dan damai. Dengan memilih yang benar dan menerapkan pikiran dengan setia, manusia naik menuju Kesempurnaan Ilahi; dengan menyalahgunakan dan menerapkan pikiran secara keliru, ia turun di bawah taraf binatang. Di antara dua ekstrem ini ada semua jenjang karakter—dan manusialah pembuat dan penguasanya.
Dari semua kebenaran indah yang menyangkut jiwa dan dipulihkan di zaman ini, tak ada yang lebih menggembirakan dan berbuah janji Ilahi selain ini: bahwa manusia adalah penguasa pikiran, pembentuk karakter, dan pembuat serta pembentuk keadaan, lingkungan, dan takdir.
Sebagai makhluk yang memiliki Kekuatan, Kecerdasan, dan Kasih—dan sebagai tuan atas pikirannya sendiri—manusia memegang kunci setiap keadaan, dan di dalam dirinya terkandung daya pengubah dan pembaharu yang membuatnya mampu menjadi apa pun yang ia kehendaki.
Manusia selalu adalah penguasa—bahkan dalam keadaan paling lemah dan paling terpuruk; namun dalam kelemahan dan kerendahannya ia laksana penguasa dungu yang salah mengatur “rumahnya”. Ketika ia mulai merenungkan keadaannya dan dengan tekun mencari Hukum yang menjadi dasar keberadaannya, saat itu juga ia menjadi penguasa bijak—mengarahkan energinya dengan cerdas dan membentuk pikirannya menuju hasil yang berbuah. Inilah penguasa sadar; dan manusia hanya menjadi demikian dengan menemukan di dalam dirinya hukum-hukum pikiran—sebuah penemuan yang sepenuhnya perkara penerapan, analisis diri, dan pengalaman.
Emas dan berlian hanya didapat lewat banyak pencarian dan penggalian; demikian pula manusia dapat menemukan setiap kebenaran tentang dirinya bila ia menggali dalam ke tambang jiwanya. Dan bahwa ia adalah pembuat karakternya, pembentuk hidupnya, serta pembangun takdirnya—semua itu dapat ia buktikan tanpa keliru bila ia mau mengamati, mengendalikan, dan mengubah pikirannya; menelusuri pengaruhnya atas diri, atas sesama, atas hidup dan keadaan; mengaitkan sebab dan akibat melalui latihan yang sabar serta penyelidikan; dan memanfaatkan setiap pengalaman—bahkan yang paling sepele dalam keseharian—sebagai sarana mendapat pengetahuan tentang dirinya sendiri, yang adalah Pengertian, Kebijaksanaan, Kekuatan. Ke arah inilah—dan tak pada arah lain—Hukum itu mutlak: “Siapa mencari, menemukan; siapa mengetuk, baginya pintu dibukakan.” Sebab hanya melalui kesabaran, latihan, dan permohonan yang tak henti-henti manusia dapat memasuki Pintu Bait Pengetahuan.
PENGARUH PIKIRAN ATAS KEADAAN
Budi manusia dapat diumpamakan sebagai taman: dapat digarap dengan cerdas atau dibiarkan liar; namun apa pun pilihannya, ia pasti akan menumbuhkan sesuatu. Bila tak ada benih berguna yang dimasukkan, maka benih gulma akan jatuh berlimpah dan terus berbiak menurut jenisnya.
Sebagaimana tukang kebun menggarap lahannya—membersihkan gulma dan menumbuhkan bunga serta buah yang ia kehendaki—demikian manusia dapat mengurus taman budinya: mencabut semua pikiran yang keliru, tak berguna, tak murni; dan menumbuhkan hingga mendekati kesempurnaan bunga-buah pikiran yang benar, berguna, dan murni. Menempuh proses ini, cepat atau lambat manusia mendapati bahwa dialah tukang kebun-utama jiwanya, pengarah hidupnya. Di dalam dirinya pun ia menyingkap hukum-hukum pikiran, dan kian akurat memahami bagaimana tenaga pikiran dan unsur budi bekerja membentuk karakter, keadaan, dan takdir.
Pikiran dan karakter adalah satu. Karena karakter hanya dapat menampak dan menemukan diri lewat lingkungan serta keadaan, syarat-syarat lahiriah hidup seseorang selalu akan selaras dengan keadaan batinnya. Ini tidak berarti keadaan seseorang pada saat tertentu mencerminkan seluruh karakternya; melainkan bahwa keadaan itu terhubung rapat dengan satu unsur pikiran yang pokok dalam dirinya hingga, untuk sementara, keadaan tersebut tak tergantikan bagi pertumbuhannya.
Setiap orang berada di tempatnya menurut hukum keberadaannya; pikiran-pikiran yang ia bangun ke dalam karakter telah membawanya ke sana; dan dalam tatanan hidupnya tak ada unsur kebetulan—semuanya adalah akibat dari Hukum yang tak mungkin keliru. Ini sama benarnya bagi mereka yang merasa “tak selaras” dengan sekelilingnya maupun bagi mereka yang puas.
Sebagai makhluk yang bertumbuh dan berevolusi, manusia berada di tempatnya agar ia belajar dan bertambah dewasa; dan tatkala ia memetik pelajaran rohani yang terkandung dalam suatu keadaan, keadaan itu berlalu dan memberi tempat kepada keadaan lain.
Manusia dihantam keadaan selama ia percaya bahwa dirinya hanyalah ciptaan kondisi luar. Namun ketika ia sadar bahwa ia adalah daya kreatif—bahwa ia dapat memerintah tanah dan benih tersembunyi dalam dirinya, dari mana keadaan bertunas—maka saat itu ia menjadi penguasa sah atas dirinya sendiri.
Bahwa keadaan tumbuh dari pikiran diketahui oleh siapa pun yang cukup lama melatih pengendalian diri dan pemurnian diri; sebab ia akan melihat bahwa perubahan keadaan selalu sebanding dengan perubahan kondisi mentalnya. Begitu benarnya hal ini hingga ketika seseorang bersungguh-sungguh membenahi cacat karakternya dan bertumbuh cepat serta nyata, ia melintas lekas melalui rentetan pasang-surut.
Jiwa menarik apa yang diam-diam ia tampung; apa yang ia kasihi, juga apa yang ia takutkan. Ia naik setinggi cita-cita yang dikasihinya; ia jatuh serendah hasrat yang tak disucikan—dan keadaan adalah sarana bagi jiwa untuk menerima kepunyaannya.
Setiap benih-pikiran yang ditabur—atau dibiarkan jatuh—ke dalam budi, lalu berakar di sana, menghasilkan jenisnya sendiri: mengembang cepat atau lambat menjadi tindakan dan berbuah dalam peluang serta keadaan. Pikiran yang baik berbuah baik; pikiran yang buruk berbuah buruk.
Dunia luar—keadaan—membentuk diri menurut dunia dalam—pikiran; dan kondisi yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan adalah faktor-faktor yang menuju kebaikan akhir sang pribadi. Sebagai penuai dari ladangnya sendiri, manusia belajar melalui derita dan kenikmatan.
Mengikuti keinginan, aspirasi, pikiran yang paling batin—yang dibiarkan menguasai dirinya—(mengejar kekerdipan khayal yang tak murni, atau berjalan teguh di jalan raya ikhtiar yang kuat dan luhur), pada akhirnya manusia tiba pada penuaian dan pemenuhan semuanya itu dalam kondisi lahir hidupnya. Hukum pertumbuhan dan penyesuaian berlaku di mana-mana.
Seseorang tidak sampai ke rumah derma atau penjara oleh tirani nasib atau keadaan, melainkan melalui jalan pikiran merangkak dan hasrat rendah. Pun orang yang berhati murni tidak jatuh tiba-tiba ke dalam kejahatan oleh tekanan kekuatan luar; pikiran kriminal telah lama dipelihara diam-diam di hati, dan jam kesempatan menyingkap daya yang terakumulasinya. Keadaan tidak membuat manusia; keadaan menyingkapkan manusia kepada dirinya sendiri. Tak ada “turun ke jurang” berikut deritanya tanpa kecenderungan bejat; tak ada “naik ke kebajikan” berikut kebahagiaan sucinya tanpa pemupukan berkelanjutan akan aspirasi berbudi. Karena itu, sebagai tuan atas pikiran, manusia adalah pembuat dirinya—pembentuk dan pengarang lingkungannya. Bahkan saat lahir, jiwa datang kepada kepunyaannya, dan di tiap langkah peziarahan di bumi ia menarik rangkaian kondisi yang menyingkapkan dirinya—cerminan kemurnian dan kenajisannya, kekuatan dan kelemahannya.
Manusia tidak menarik apa yang ia inginkan, melainkan apa yang ia jadikan dirinya. Keinginan, selera, ambisi sering terhalang, tetapi pikiran dan hasrat terdalam diberi makan oleh makanannya sendiri—entah kotor atau bersih. “Ketuhanan yang membentuk akhir kita” ada dalam diri kita sendiri; ia adalah diri kita. Hanya dirinyalah yang membelenggu manusia; pikiran dan tindakan adalah sipir Takdir—bila rendah, mereka memenjarakan; bila luhur, mereka membebaskan. Bukan apa yang ia dambakan dan doakan yang didapat manusia, melainkan apa yang pantas ia peroleh. Keinginan dan doanya dipenuhi ketika selaras dengan pikiran dan tindakannya.
Dalam terang kebenaran ini, apakah artinya “melawan keadaan”? Artinya: manusia terus-menerus memberontak terhadap suatu akibat di luar, sementara ia memelihara sebabnya di dalam hati. Sebab itu dapat berupa kebiasaan buruk yang disadari atau kelemahan yang tak disadari; apa pun itu, ia keras kepala menghambat upaya pemiliknya, dan karenanya berseru minta obat.
Manusia ingin memperbaiki keadaannya, tetapi enggan memperbaiki dirinya—maka mereka tetap terbelenggu. Orang yang tidak gentar “menyalibkan diri” takkan gagal meraih tujuan hatinya. Ini sejujur perkara dunia seperti perkara surga. Bahkan orang yang semata mengejar harta harus siap berkorban besar sebelum menggapai tujuannya; terlebih lagi dia yang hendak mewujudkan hidup yang kuat dan mapan.
Inilah seorang miskin yang papa. Ia sangat ingin suasana dan kenyamanan rumahnya membaik, namun ia mengelak kerja dan merasa berhak menipu majikan dengan alasan upah yang kurang. Ia tidak paham asas paling sederhana dari prinsip-prinsip kemakmuran sejati—bukan hanya tak layak bangkit dari kemalangannya, ia malah menarik kemalangan yang lebih dalam dengan tinggal dan bertindak dari pikiran malas, menipu, tak jantan.
Inilah seorang kaya yang menderita penyakit perih dan menetap sebagai akibat kerakusan. Ia rela mengeluarkan uang besar untuk menyingkirkannya, tetapi ia tak mau mengorbankan nafsu lahapnya. Ia ingin memuaskan selera pada hidangan mewah nan tak wajar sekaligus tetap sehat. Orang demikian sama sekali tak layak memperoleh kesehatan, karena ia belum belajar asas pertama hidup sehat.
Inilah seorang majikan yang menempuh cara licik untuk menghindari pembayaran upah sesuai ketentuan, bahkan menurunkan upah demi laba lebih besar. Orang demikian tidak layak bagi kemakmuran; saat ia bangkrut—nama dan hartanya—ia menyalahkan keadaan, tak tahu bahwa dialah pengarang tunggal keadaannya.
Tiga contoh ini sekadar ilustrasi bahwa manusia adalah penyebab (meski nyaris selalu tak sadar) bagi keadaannya; bahwa sambil menuju tujuan baik, ia terus menggagalkan pencapaiannya dengan memelihara pikiran dan hasrat yang mustahil selaras dengan tujuan itu. Contoh semacam ini dapat digandakan tanpa batas; namun tak perlu, sebab pembaca—jika ia berketetapan—dapat menelusuri kerja hukum-hukum pikiran dalam budi dan hidupnya sendiri; dan sampai itu dilakukan, fakta lahir semata tak cukup menjadi landasan nalar.
Namun keadaan itu rumit, pikiran berakar dalam, dan syarat kebahagiaan berbeda-beda luas antarindividu, sehingga kondisi keseluruhan jiwa seseorang (meski mungkin diketahui oleh dirinya sendiri) tak bisa dihakimi orang lain dari tampak luar semata. Seseorang bisa jujur dalam hal tertentu, namun tetap kekurangan; yang lain bisa curang dalam hal tertentu, namun berharta. Kesimpulan yang biasa dibuat—bahwa yang pertama gagal karena kejujurannya, dan yang lain makmur karena kecurangannya—adalah hasil penilaian dangkal, seolah si curang hampir sepenuhnya bejat dan si jujur hampir sepenuhnya suci. Dalam terang pengetahuan yang lebih dalam dan pengalaman yang lebih luas, penilaian demikian keliru. Si curang mungkin punya kebajikan yang patut, yang tidak dimiliki si jujur; si jujur mungkin menyimpan keburukan yang tak ada pada si curang. Si jujur menuai akibat baik dari pikiran dan tindak jujurnya; ia juga menanggung derita yang ditimbulkan keburukannya. Si curang pun menuai derita dan suka citanya sendiri.
Menyenangkan bagi keakuan manusia untuk percaya bahwa ia menderita karena kebajikannya; namun hingga setiap pikiran sakit, getir, dan najis tercabut dari budi, dan setiap noda dosa dibasuh dari jiwa, seseorang belum dalam posisi untuk mengetahui—dan menyatakan—bahwa deritanya adalah akibat dari kebaikannya, bukan keburukannya. Dalam perjalanan menuju—jauh sebelum mencapai—kesempurnaan itu, ia akan menemukan bekerja dalam budi dan hidupnya Hukum Agung yang mutlak adil, yang karenanya tak dapat memberi baik untuk buruk, atau buruk untuk baik. Memiliki pengetahuan demikian, ia akan tahu—menoleh ke masa lalu ketidaktahuan dan kebutaannya—bahwa hidupnya memang, dan selalu, tertata dengan adil; bahwa semua pengalaman lalunya, baik dan buruk, adalah pelaksanaan yang wajar dari diri yang sedang berevolusi namun belum tuntas.
Pikiran dan tindakan yang baik tak pernah menghasilkan akibat buruk; pikiran dan tindakan yang buruk tak pernah menghasilkan akibat baik. Takkan datang jagung dari benih selain jagung; takkan tumbuh jelatang selain dari jelatang. Manusia mengerti Hukum ini di alam jasmani dan bekerja selaras dengannya; sedikit yang mengerti di alam mental-moral (padahal bekerjanya sama sederhana dan tak menyimpang), maka mereka tak bekerjasama dengannya.
Derita selalu adalah akibat pikiran yang keliru ke suatu arah. Ia menandakan bahwa individu tidak selaras dengan dirinya—tidak selaras dengan Hukum keberadaannya. Fungsi tertinggi derita ialah memurnikan—membakar habis yang tak berguna dan najis. Derita lenyap bagi ia yang murni. Tak ada gunanya membakar emas setelah terak dibuang; makhluk yang sepenuhnya murni dan tercerahkan takkan menderita.
Keadaan yang ditemui dengan derita adalah akibat ketidakselarasan mental sendiri; keadaan yang ditemui dengan kebahagiaan rohani adalah akibat keselarasan mental sendiri. Kebahagiaan rohani—bukan harta benda—adalah ukuran pikiran benar; kemalangan—bukan kekurangan harta—adalah ukuran pikiran keliru. Seseorang bisa terkutuk namun kaya; bisa diberkati namun miskin. Kebahagiaan rohani dan kekayaan hanya bersenyawa bila kekayaan dipakai dengan benar dan bijak; dan orang miskin hanya turun ke kemalangan ketika memandang nasibnya sebagai beban yang ditimpakan tak adil.
Kekurangan dan kemewahan berlebihan adalah dua ekstrem kemalangan; keduanya sama-sama tak wajar—buah dari gangguan mental. Seseorang belum tertata benar sampai ia menjadi insan yang gembira, sehat, dan makmur; dan kegembiraan, kesehatan, serta kemakmuran adalah hasil penyesuaian selaras antara dalam dan luar—antara manusia dan lingkungannya.
Manusia baru mulai menjadi manusia ketika ia berhenti mengeluh dan mencaci; ketika ia mulai mencari keadilan tersembunyi yang menata hidupnya. Saat ia menata budinya pada faktor penata itu, ia berhenti menuduh orang lain sebagai sebab keadaannya; ia membangun dirinya dalam pikiran-pikiran kuat dan mulia; berhenti menendang keadaan, dan mulai memakainya sebagai penopang kemajuan yang lebih lekas, sebagai sarana menemukan daya dan kemungkinan yang tersembunyi di dalam dirinya.
Hukum—bukan kekacauan—adalah asas yang berdaulat di jagat raya; keadilan—bukan ketidakadilan—adalah jiwa dan hakikat hidup; dan kebenaran—bukan kerusakan—adalah daya yang membentuk dan menggerakkan pemerintahan rohani dunia. Maka manusia cukup membetulkan dirinya, dan ia akan dapati semesta telah benar; dan selama proses itu, ketika ia mengubah pikirannya terhadap hal-hal dan sesama, hal-hal dan sesama akan berubah terhadapnya.
Bukti kebenaran ini ada pada tiap insan, karena itu mudah diselidiki melalui pengamatan serta analisis diri yang tertib. Biarkan seseorang mengubah pikirannya secara radikal, maka ia akan terheran akan cepatnya perubahan yang terjadi pada kondisi lahir hidupnya. Manusia menyangka pikiran dapat dirahasiakan—padahal tidak; ia lekas mengkristal menjadi kebiasaan, dan kebiasaan mengeras menjadi keadaan. Pikiran kebinatangan mengkristal menjadi kebiasaan mabuk dan hawa nafsu, yang mengeras menjadi keadaan melarat dan sakit; pikiran najis dari segala jenis mengkristal menjadi kebiasaan yang melemahkan dan mengacaukan, yang mengeras menjadi keadaan yang mengganggu dan merugikan; pikiran takut, ragu, bimbang mengkristal menjadi kebiasaan lemah, tak jantan, tak tegas, yang mengeras menjadi keadaan gagal, miskin, bergantung; pikiran malas mengkristal menjadi kebiasaan jorok dan curang, yang mengeras menjadi keadaan dekil dan mengemis; pikiran benci dan menghukum mengkristal menjadi kebiasaan menuduh dan berkeras, yang mengeras menjadi keadaan luka dan penganiayaan; pikiran egois dari segala ragam mengkristal menjadi kebiasaan mencari diri sendiri, yang mengeras menjadi keadaan yang lebih-kurang menyesakkan. Sebaliknya, pikiran indah dari segala jenis mengkristal menjadi kebiasaan anggun dan baik hati, yang mengeras menjadi keadaan hangat dan cerah; pikiran murni mengkristal menjadi kebiasaan menahan diri dan menguasai diri, yang mengeras menjadi keadaan teduh dan damai; pikiran berani, percaya diri, tegas mengkristal menjadi kebiasaan jantan, yang mengeras menjadi keadaan sukses, kelimpahan, kemerdekaan; pikiran berenergi mengkristal menjadi kebiasaan bersih dan rajin, yang mengeras menjadi keadaan menyenangkan; pikiran lembut dan pemaaf mengkristal menjadi kebiasaan kelembutan, yang mengeras menjadi keadaan yang melindungi dan memelihara; pikiran kasih dan tak mementingkan diri mengkristal menjadi kebiasaan lupa diri demi sesama, yang mengeras menjadi keadaan makmur yang pasti dan kekayaan sejati.
Rangkaian pikiran tertentu yang dipertahankan—baik atau buruk—tak mungkin gagal menghasilkan dampaknya atas karakter dan keadaan. Manusia tidak dapat langsung memilih keadaan, tetapi ia dapat memilih pikiran; dan demikian—tak langsung namun pasti—ia membentuk keadaan.
Alam membantu setiap manusia memenuhi pikiran yang paling sering ia galakkan; peluang akan hadir yang paling lekas memunculkan ke permukaan baik pikiran baik maupun pikiran buruk.
Biarkan seseorang berhenti dari pikiran berdosa, maka dunia melunak terhadapnya dan siap menolong; biarkan ia menyingkirkan pikiran lemah dan sakit, lihat—peluang tumbuh di segala sisi untuk menyokong tekadnya; biarkan ia menguatkan pikiran baik, tak ada nasib keras yang dapat merantainya pada aib. Dunia adalah kaleidoskopmu; aneka kombinasinya, yang di tiap detik berganti, adalah gambar-gambar teratur indah dari pikiranmu yang terus bergerak.
“Maka engkau akan jadi sebagaimana engkau hendak;
Biarlah gagal mencari hibur palsu
Dalam kata miskin ‘lingkungan’,
Namun roh mencemohnya—dan merdeka.”
“Ia menguasai waktu, menaklukkan ruang;
Ia membuat ‘Kebetulan’—sang penipu pongah—takluk,
Dan memerintah ‘Keadaan’—sang tiran—
Tanggalkan mahkota, menjadi pelayan.”
“Kehendak manusia—daya yang tak terlihat—
Anak Jiwa yang takkan mati—
Membelah jalan ke tujuan mana pun,
Meski dinding granit menghadang.”
“Jangan lekas hati dalam penantian;
Tunggulah seperti dia yang mengerti:
Saat roh bangkit dan memerintah,
Para dewa siap menaati.”
PENGARUH PIKIRAN ATAS KESEHATAN DAN TUBUH
Tubuh adalah pelayan budi. Ia menaati kerja budi—baik yang dipilih sadar maupun yang terekspresi otomatis. Atas perintah pikiran yang melanggar, tubuh lekas jatuh ke sakit dan susut; atas komando pikiran yang gembira dan indah, tubuh berselimut muda dan elok.
Penyakit dan kesehatan, sebagaimana keadaan, berakar pada pikiran. Pikiran sakit akan menampak melalui tubuh sakit. Pikiran takut pernah diketahui membunuh secepat peluru—dan terus membunuh ribuan orang: sama pastinya, hanya kurang cepat. Mereka yang hidup dalam takut pada penyakit—ialah mereka yang tertimpa penyakit itu. Cemas lekas merusak seluruh tubuh dan membukanya bagi masuknya penyakit; sementara pikiran najis—bahkan bila tak dilampiaskan jasmani—segera mengguncang sistem saraf.
Pikiran yang kuat, murni, gembira membangun tubuh dalam tenaga dan keanggunan. Tubuh adalah instrumen halus dan lentur, cepat merespons pikiran yang membentuknya; kebiasaan berpikir akan menghasilkan dampaknya sendiri—baik atau buruk—atas tubuh.
Manusia akan terus memiliki darah najis dan beracun sejauh mereka menyebarkan pikiran kotor. Dari hati yang bersih mengalir hidup dan tubuh yang bersih; dari budi yang tercemar mengalir hidup yang tercemar dan tubuh yang rusak. Pikiran adalah mata-air tindakan, hidup, penampakan; sucikan mata-airnya, maka semua menjadi suci.
Ganti pola makan takkan menolong orang yang tak mau mengganti pikirannya. Ketika seseorang memurnikan pikirannya, ia tak lagi menginginkan makanan yang najis.
Pikiran bersih melahirkan kebiasaan bersih. “Orang suci” yang tak mencuci tubuh bukanlah suci. Ia yang menguatkan dan memurnikan pikirannya tak perlu cemas berlebihan pada “kuman jahat”.
Bila engkau hendak melindungi tubuhmu, jagalah budimu. Bila engkau hendak memperbaharui tubuhmu, perindahlah budimu. Pikiran dengki, iri, kecewa, putus asa merampas kesehatan dan keanggunan tubuh. Wajah masam bukan kebetulan; ia dibentuk oleh pikiran masam. Kerut yang merusak digambar oleh kebodohan, nafsu, dan kesombongan.
Aku mengenal seorang perempuan berusia sembilan puluh enam berwajah cerah dan polos laksana gadis. Aku mengenal seorang lelaki yang jauh lebih muda, namun wajahnya tertarik pada garis-garis tak selaras. Yang pertama akibat perangai manis dan cerah; yang kedua buah nafsu dan ketidakpuasan.
Sebagaimana engkau takkan memiliki hunian yang harum dan sehat bila tak membiarkan udara dan cahaya matahari masuk bebas ke ruang-ruangmu, demikian tubuh yang kuat dan raut muka yang cerah, gembira, atau teduh hanya muncul dari penerimaan bebas ke dalam budi—pikiran sukacita, itikad baik, dan ketenangan.
Di wajah para tua ada kerut yang dibuat oleh belas kasih; ada pula oleh pikiran kuat dan murni; yang lain terpahat oleh nafsu—siapa tak dapat membedakannya? Bagi mereka yang hidup benar, usia lanjut itu teduh, damai, lunak temaram laksana matahari tenggelam. Baru-baru ini aku melihat seorang filsuf di ranjang mautnya. Ia tidak tua selain dalam hitungan tahun. Ia wafat semanis dan setenang ia hidup.
Tak ada tabib seperti pikiran ceria untuk menguapkan sakit tubuh; tak ada penghibur yang menandingi itikad baik untuk menyibakkan bayang duka. Hidup terus-menerus dalam pikiran buruk sangka, sinis, curiga, iri—adalah memenjarakan diri. Namun berpikir baik tentang semua, ceria terhadap semua, sabar belajar menemukan kebaikan dalam semua—pikiran yang tak mementingkan diri demikian adalah ambang surga; dan berdiam hari demi hari dalam pikiran damai terhadap setiap makhluk akan menghadirkan damai berlimpah pada pemiliknya.
PIKIRAN DAN TUJUAN
Sampai pikiran dipautkan dengan tujuan, tak ada capaian yang cerdas. Pada kebanyakan orang, perahu pikiran dibiarkan “terapung” di samudra hidup. Tanpa tujuan adalah keburukan; dan mengapung demikian tak boleh dibiarkan bagi dia yang hendak menghindari bencana.
Mereka yang tidak memiliki tujuan pusat dalam hidupnya menjadi mangsa empuk bagi kekhawatiran sepele, ketakutan, kesulitan, dan iba diri—semuanya tanda kelemahan—yang seterang dosa yang dirancang (meski lewat jalan berbeda) mengarah pada gagal, nestapa, dan kehilangan; sebab kelemahan tak dapat bertahan di semesta yang berkembang menuju Kekuatan.
Seseorang hendaknya mengandung tujuan yang benar dalam hatinya dan berangkat untuk mencapainya. Tujuan itu hendaklah menjadi titik pemusat dari pikirannya. Ia mungkin mengambil bentuk ideal rohani, atau tujuan duniawi—menurut tabiatnya ketika itu; mana pun bentuknya, ia hendaknya mantap memusatkan tenaga pikirannya pada tujuan yang digariskan. Tujuan itu hendaklah menjadi tugas utama; serahkan diri pada pencapaiannya—jangan biarkan pikiran mengembara ke khayal, kerinduan, lamunan yang fana. Inilah jalan kerajaan menuju penguasaan diri dan pemusatan pikiran sejati. Meski ia gagal berulang kali (sebagaimana mesti terjadi sampai kelemahan diatasi), kekuatan karakter yang diperoleh adalah ukuran kesuksesan sejatinya, yang akan menjadi titik mula bagi kekuatan dan kemenangan mendatang.
Mereka yang belum siap menangkap tujuan besar hendaknya memusatkan pikiran pada pelaksanaan tak bercela dari tugasnya—betapa pun tampak sepele. Hanya demikian pikiran dapat dikumpulkan dan difokuskan; tekad dan energi dikembangkan; dan setelah itu tak ada yang mustahil dicapai.
Jiwa paling lemah, bila mengenal kelemahannya dan percaya akan kebenaran ini—bahwa kekuatan hanya berkembang melalui upaya dan latihan—akan segera mulai mengerahkan diri; menambah upaya demi upaya, kesabaran demi kesabaran, kekuatan demi kekuatan—tak henti bertumbuh—hingga akhirnya menjadi kuat secara Ilahi.
Sebagaimana orang yang lemah raga dapat menjadikan dirinya kuat lewat latihan cermat dan sabar, demikian orang yang lemah pikiran dapat menguatkannya lewat latihan berpikir benar.
Menyingkirkan tanpa-tujuan dan kelemahan—lalu mulai berpikir dengan tujuan—adalah memasuki barisan orang kuat: yang hanya mengenal gagal sebagai salah satu jalan menuju pencapaian; yang membuat segala syarat melayani mereka; yang berpikir kuat, mencoba tanpa takut, dan menyelesaikan dengan tangkas.
Setelah merancang tujuannya, seseorang hendaknya menandai secara mental jalan lurus menuju pencapaiannya—tak menoleh ke kanan atau kiri. Ragu dan takut harus disingkirkan tegas; keduanya unsur yang mengurai garis lurus upaya, menjadikannya berkelok, tak manjur, sia-sia. Pikiran ragu dan takut tak pernah menyelesaikan apa pun—dan takkan pernah. Ia selalu berujung pada gagal. Tujuan, energi, daya melakukan—semua pikiran kuat berhenti ketika ragu dan takut menyelinap.
Kehendak untuk melakukan memancar dari pengetahuan bahwa kita bisa melakukannya. Ragu dan takut adalah musuh besar pengetahuan; siapa memeliharanya—tidak membunuhnya—menggagalkan dirinya di setiap langkah.
Siapa menaklukkan ragu dan takut, menaklukkan gagal. Setiap pikirannya berpihak pada Kekuatan; semua kesulitan dihadapi berani dan diatasi bijak. Tujuannya ditanam pada musimnya, lalu mekar dan berbuah—buah yang tidak gugur prematur.
Pikiran yang berpadu tanpa gentar dengan tujuan menjadi daya kreatif. Siapa tahu ini siap menjadi sesuatu yang lebih tinggi dan kuat daripada sekadar gulungan pikiran goyah dan rasa berombak; siapa melakukannya telah menjadi penghela daya mentalnya—sadar dan cerdas.
FAKTOR PIKIRAN DALAM PENCAPAIAN
Semua yang manusia capai—dan semua yang gagal ia capai—adalah hasil langsung dari pikirannya sendiri. Di semesta yang tertata adil—di mana hilangnya keseimbangan berarti kebinasaan total—tanggung jawab pribadi mesti mutlak. Lemah dan kuatnya seseorang, sucinya dan najisnya, adalah miliknya—bukan milik orang lain; dibawa oleh dirinya—bukan oleh orang lain; dan hanya dapat diubah olehnya—bukan oleh orang lain. Keadaannya pun miliknya; derita dan bahagianya tumbuh dari dalam. Sebagaimana ia berpikir, demikian ia adanya; sebagaimana ia terus berpikir, demikian ia tetap.
Orang kuat tak dapat menolong orang lemah bila yang lemah tidak mau ditolong; dan sekalipun mau, yang lemah harus menjadi kuat oleh dirinya; ia harus—dengan upayanya sendiri—mengembangkan kekuatan yang ia kagumi pada orang lain. Tak seorang pun selain dirinya yang dapat mengubah keadaannya.
Dahulu biasa orang berkata, “Banyak hamba karena ada satu penindas; mari benci penindas.” Kini, pada segelintir yang kian bertambah, muncul kecenderungan membalik putusan itu: “Ada satu penindas karena banyak hamba; mari hinakan perhambaannya.”
Kebenarannya: penindas dan hamba bekerja sama dalam ketidaktahuan; sementara tampak saling menyakiti, sejatinya mereka menyakiti diri. Pengetahuan sempurna melihat bekerjanya Hukum dalam kelemahan pihak yang ditindas dan kekuatan yang disalahgunakan pihak penindas; Kasih sempurna—melihat derita yang menyertai kedua keadaan—tidak mengutuk salah satu; Belas Kasihan sempurna merangkul penindas dan tertindas.
Siapa menaklukkan kelemahan dan menyingkirkan semua pikiran egois—tidak termasuk penindas atau tertindas. Ia merdeka.
Manusia hanya dapat bangkit, menaklukkan, mencapai—dengan mengangkat pikirannya. Ia hanya akan tetap lemah, hina, malang—bila menolak mengangkat pikirannya.
Sebelum seseorang dapat mencapai sesuatu—bahkan dalam urusan dunia—ia harus mengangkat pikirannya di atas pemanjaan binatang. Untuk berhasil, ia mungkin tidak meninggalkan semua kebinatangan dan keakuan—namun sebagian harus dikorbankan. Orang yang pikiran pertamanya adalah pemanjaan nafsu takkan mampu berpikir jernih atau merancang tertib; ia takkan menemukan dan mengembangkan sumber dayanya yang terpendam; dan ia akan gagal di setiap usaha. Belum memulai mengendalikan pikirannya secara jantan, ia belum siap mengendalikan urusan dan memikul tanggung jawab serius; ia belum layak bertindak mandiri dan berdiri sendiri. Namun ia dibatasi hanya oleh pikiran yang ia pilih.
Tiada kemajuan dan pencapaian tanpa pengorbanan; dan sukses duniawi seseorang sebanding dengan pengorbanannya atas pikiran hewani yang kacau, sementara ia memusatkan budi pada pengembangan rencana, penguatan keteguhan dan percaya diri. Kian tinggi ia mengangkat pikirannya—kian jantan, tegak, dan benar ia jadi—kian besar kesuksesan; kian diberkati dan bertahanlah pencapaiannya.
Semesta tidak memihak serakah, curang, bejat—meski di permukaan kadang tampak demikian; ia menolong yang jujur, murah hati, bajik. Semua Guru Agung sepanjang zaman menyatakan hal ini dalam aneka bentuk; dan untuk membuktikan serta mengetahuinya, seseorang cukup gigih menjadikan dirinya kian bajik dengan mengangkat pikirannya.
Pencapaian intelektual adalah hasil pikiran yang diabdikan pada pencarian pengetahuan—atau pada yang indah dan benar dalam hidup serta alam. Pencapaian demikian kadang berkelindan dengan kesia-siaan dan ambisi, namun bukan itu hulunya; ia tumbuh wajar dari upaya panjang dan tekun serta dari pikiran yang murni dan tak mementingkan diri.
Pencapaian spiritual adalah pelunasan aspirasi suci. Siapa hidup tetap dalam konsepsi pikiran-pikiran luhur dan mulia; siapa berdiam pada yang murni dan tak mementingkan diri—akan, setentu matahari mencapai puncaknya dan bulan purnama, menjadi bijak dan mulia dalam karakter, naik ke posisi pengaruh dan kebahagiaan rohani.
Pencapaian, apa pun jenisnya, adalah mahkota upaya—diadem pikiran. Dengan bantuan penguasaan diri, keteguhan, kemurnian, kebenaran, dan pikiran yang terarah baik, manusia naik; dengan bantuan kebinatangan, kemalasan, kenajisan, kerusakan, dan kekacauan pikiran, manusia turun.
Seseorang dapat naik ke sukses tinggi di dunia—bahkan ke ketinggian rohani—namun turun lagi ke lemah dan nista bila ia membiarkan pikiran sombong, egois, rusak, berkuasa atasnya.
Kemenangan yang diraih oleh pikiran benar hanya dapat dipertahankan oleh kewaspadaan. Banyak orang mengendur ketika sukses terjamin—dan lekas jatuh kembali ke gagal.
Segala pencapaian—baik dalam dunia niaga, intelek, atau roh—adalah hasil pikiran yang diarahkan secara tegas, ditata oleh Hukum yang sama, serta ditempuh dengan cara yang sama; bedanya semata pada obyek yang hendak dicapai.
Siapa hendak mencapai sedikit, berkorban sedikit; siapa hendak mencapai banyak, berkorban banyak; siapa hendak mencapai setinggi-tingginya, berkorban sebesar-besarnya.
VISI DAN IDEAL
Para pemimpi adalah para penyelamat dunia. Sebagaimana dunia tampak disanggah oleh yang tak tampak, demikianlah manusia—melintasi segala ujian, dosa, dan kerja yang kasar—dihidupi oleh Visi nan indah dari para pemimpi yang sunyi. Kemanusiaan tak dapat melupakan para pemimpinya; ia takkan membiarkan ideal mereka pudar dan mati; ia hidup di dalamnya; ia mengenali ideal itu sebagai realitas yang suatu hari akan dilihat dan dikenal.
Penggubah, pemahat, pelukis, penyair, nabi, bijak—merekalah para pembangun dunia berikutnya—para arsitek surga. Dunia menjadi indah karena mereka hidup; tanpa mereka, umat manusia yang bekerja akan binasa.
Siapa memelihara Visi yang indah—Ideal yang luhur—di dalam hati, suatu hari akan mewujudkannya. Columbus memelihara Visi dunia lain—dan ia menemukannya. Copernicus memelihara Visi tentang banyaknya dunia dan semesta yang lebih luas—dan ia menyingkapkannya. Buddha memandang Visi dunia rohani—cantik tanpa noda dan damai sempurna—dan ia memasukinya.
Peliharalah Visimu; peliharalah Idealmu; peliharalah musik yang bergetar di hatimu, keindahan yang terbentuk di budimu, keelokan yang menyelubungi pikiranmu yang paling murni; sebab darinya tumbuh semua kondisi yang menyenangkan, semua lingkungan surgawi; bila engkau setia padanya, darinya duniamu akhirnya akan dibangun.
Mengingini adalah memperoleh; bercita-cita adalah mencapai. Mungkinkah hasrat terendah manusia menerima kenyang yang penuh, sementara aspirasi termurninya kelaparan? Bukanlah demikian Hukum: keadaan itu takkan pernah berlaku: “mintalah dan terimalah.”
Mimpikan mimpi yang luhur—dan sebagaimana engkau bermimpi, demikian engkau menjadi. Visimu adalah janji tentang apa yang kelak akan kaus jadi; Idealmu adalah nubuat tentang apa yang akhirnya akan kaubuka.
Pencapaian paling agung pada mulanya hanyalah mimpi. Pohon ek tidur dalam biji; burung menunggu dalam telur; dan dalam Visi tertinggi jiwa, malaikat terjaga menggeliat. Mimpi adalah benih realitas.
Keadaanmu kini mungkin tidak bersahabat; namun ia takkan demikian lama bila engkau menatap Ideal dan berjuang meraihnya. Engkau takkan dapat melakukan perjalanan di dalam sambil tetap diam di luar. Lihat seorang bocah yang ditekan kemiskinan dan kerja; berjam-jam terkurung di bengkel tak sehat; tak bersekolah; kekurangan seni kehalusan. Namun ia memimpikan yang lebih baik; ia memikirkan kecerdasan, kehalusan, keanggunan, keindahan. Ia merancang dalam budi—membangun secara mental—sebuah kondisi hidup yang ideal. Visi tentang kebebasan yang lebih luas dan ruang gerak yang lebih besar menguasainya; kegelisahan mendesaknya bertindak; ia memakai segenap waktu luang dan sarana—betapa pun kecil—untuk mengembangkan daya dan sumber terpendam. Segera, budinya sedemikian berubah hingga bengkel itu tak lagi dapat menahannya; bengkel itu menjadi tak selaras dengan mentalitasnya dan punah dari hidupnya sebagaimana pakaian usang disisihkan. Seiring tumbuhnya peluang yang cocok dengan keluasan dayanya yang mengembang, ia melampauinya untuk selamanya. Bertahun kemudian, bocah itu tampak sebagai lelaki dewasa: penguasa kekuatan-kekuatan budi tertentu yang diayunkannya dengan pengaruh mendunia dan daya hampir tiada banding. Di tangannya, tali tanggung jawab raksasa; ia bersuara—lihat—hidup berubah; lelaki dan perempuan menggantung pada katanya dan membentuk ulang karakter mereka; laksana matahari, ia menjadi pusat tetap nan bercahaya, tempat tak terhitung takdir mengorbit. Ia telah mewujudkan Visi masa mudanya; ia telah menjadi satu dengan Idealnya.
Dan engkau juga—pembaca muda—akan mewujudkan Visi (bukan angan kosong) hatimu: entah rendah atau indah, atau campuran keduanya; sebab engkau selalu tertarik menuju apa yang paling engkau kasihi secara rahasia. Ke dalam tanganmu diletakkan hasil tepat dari pikiranmu sendiri; engkau akan menerima yang engkau peroleh—tak lebih, tak kurang. Apa pun lingkunganmu kini, engkau akan jatuh, bertahan, atau bangkit bersama pikiranmu—bersama Visi dan Idealmu. Engkau menjadi sekecil keinginan yang mengendalikanmu; sebesar aspirasi yang memerintahmu. Dalam kata-kata indah Stanton Kirkham Davis: “Boleh jadi engkau sedang menghitung buku; dan seketika engkau melangkah keluar melalui pintu yang begitu lama tampak sebagai penghalang idealmu—engkau mendapati dirimu di hadapan khalayak: pena masih di balik telinga, noda tinta di jarimu; saat itu juga mengalirlah banjir inspirasimu. Mungkin engkau sedang menggiring domba; engkau akan tiba ke kota—lugu, tercengang—dan di bawah tuntunan berani sang roh, engkau memasuki studio sang guru; tak lama, ia berkata: ‘Tak ada lagi yang dapat kuajarkan.’ Kini engkau telah menjadi sang guru—yang baru saja, sementara menggiring domba, bermimpi perihal hal-hal besar. Engkau menurunkan gergaji dan runcing—untuk memikul pembaruan dunia.”
Mereka yang ceroboh, tak tahu, malas—melihat hanya dampak lahir, bukan halnya sendiri—berbicara tentang nasib, keberuntungan, kebetulan. Melihat seseorang menjadi kaya, mereka berkata, “Betapa beruntung!” Menyaksikan yang lain menjadi cendekia, mereka berseru, “Betapa istimewa!” Mengamati watak suci dan pengaruh luas seorang lain, mereka berujar, “Kebetulan menolongnya di tiap tikungan!” Mereka tak melihat ujian, gagal, pergumulan yang dengan rela dijalani orang-orang itu demi mendapatkan pengalaman; tak tahu pengorbanan yang dibuat, upaya pantang gentar yang dikeluarkan, iman yang dihidupkan untuk menaklukkan yang tampak tak terlampaui dan mewujudkan Visi hati. Mereka tak mengenal gelap dan sakit hati; hanya melihat terang dan suka—lalu menyebutnya “untung”. Mereka tak melihat perjalanan panjang dan sukar; hanya memandang tujuan yang menyenangkan—menyebutnya “mujur”. Mereka tak memahami proses—hanya melihat hasil—lalu menyebutnya kebetulan.
Dalam semua urusan manusia ada upaya dan ada hasil; kekuatan upaya adalah ukuran hasil. Kebetulan—tidak ada. Karunia, daya, harta jasmani, intelektual, spiritual—adalah buah upaya; mereka adalah pikiran yang disempurnakan, obyek yang dituntaskan, Visi yang diwujudkan.
Visi yang engkau muliakan dalam budi; Ideal yang engkau singgasanakan dalam hati—oleh itulah engkau membangun hidupmu; itulah engkau nantinya.
KETENANGAN
Ketenangan budi adalah salah satu permata indah kebijaksanaan. Ia hasil dari upaya panjang dan sabar dalam penguasaan diri. Kehadirannya menandakan pengalaman yang matang dan pengetahuan yang lebih daripada biasa tentang hukum-hukum dan kerja pikiran.
Seseorang menjadi tenang sejauh ia mengerti dirinya sebagai makhluk yang bertumbuh dari pikiran; pengetahuan demikian meniscayakan pengertian akan orang lain sebagai hasil pikiran. Ketika ia mengembangkan pengertian yang benar—melihat kian jelas hubungan batin segala hal lewat kerja sebab-akibat—ia berhenti gusar, resah, cemas, berdukacita; ia tetap tegak, mantap, tenang.
Orang yang tenang—setelah belajar memerintah diri—tahu bagaimana menyesuaikan diri pada sesama; dan mereka, pada gilirannya, menghormati kekuatan rohaninya, merasa dapat belajar dan bersandar padanya. Kian tenteram seseorang, kian besar sukses, pengaruh, dan daya baiknya. Bahkan saudagar biasa pun mendapati niaganya membaik seiring ia mengembangkan penguasaan diri dan keseimbangan batin; sebab orang selalu lebih suka berurusan dengan pribadi yang bersikap mantap.
Orang yang kuat dan tenang selalu dicintai dan dihormati. Ia bagaikan pohon peneduh di tanah dahaga, atau batu karang yang melindungi di badai. “Siapa tak mencintai hati yang tenteram—hidup yang manis tabiatnya, seimbang? Hujan atau cerah, perubahan apa pun datang kepada mereka yang memiliki anugerah ini—namun mereka senantiasa manis, tenteram, tenang. Keseimbangan watak nan elok—yang kita sebut ketenangan—adalah pelajaran terakhir kebudayaan, buah matang jiwa. Ia semahal kebijaksanaan—lebih diinginkan daripada emas—ya, lebih daripada emas murni. Betapa kecilnya pemburuan uang jika dibanding hidup yang tenang—hidup yang berdiam di samudra Kebenaran—di bawah gelombang—di luar jangkau badai—dalam Ketenteraman Abadi!
“Berapa banyak orang yang kita kenal merusak hidupnya—menghancurkan yang manis dan indah—karena tempers yang meledak—merusak keseimbangan watak dan ‘membuat darah buruk’! Boleh jadi mayoritas manusia merusak hidup dan mencacati kebahagiaannya karena kurang penguasaan diri. Betapa jarang kita berjumpa insan yang sungguh seimbang—yang memiliki keseimbangan halus, tanda karakter yang telah dituntaskan!”
Ya—kemanusiaan mengombak oleh hasrat tak terkendali; bergelora oleh duka yang tak diatur; terombang oleh cemas dan ragu. Hanya orang bijak—hanya dia yang pikirannya terkendali dan dimurnikan—yang membuat angin dan badai dalam jiwanya taat kepadanya.
Wahai jiwa yang terombang—di mana pun engkau berada; dalam syarat apa pun engkau hidup—ketahuilah: di samudra hidup, pulau-pulau Kebahagiaan tersenyum; pantai cerah dari Idealmu menunggu kedatanganmu. Pegang kemudi pikiran dengan teguh. Di perahu jiwamu sang Penguasa bersemayam; Ia hanya tertidur—bangunkanlah Dia. Penguasaan diri adalah kekuatan; Pikiran Benar adalah kepenguasaan; Ketenangan adalah daya. Katakanlah pada hatimu: “Damailah—tenanglah!”
PENUTUP
Anda telah sampai di halaman terakhir Sebagaimana Manusia Berpikir. Terima kasih atas perhatian, keheningan, dan hati yang Anda berikan pada buku kecil ini. Dengan membacanya secara terbuka, Anda sudah membuktikan hukum yang ia nyatakan: pikiran itu kreatif, dan Anda adalah pencipta diri Anda sendiri.
Jangan biarkan kebenaran ini tinggal di atas halaman saja. Amatilah pikiran Anda; arahkan dengan lembut namun tegas — dan Anda akan melihat bagaimana hidup sendiri merespons. Buku ini bukan hanya untuk dibaca, melainkan untuk dijalani.
Dan ketika kata-katanya telah berakar dalam diri Anda, teruskanlah kepada orang lain. Bagikanlah kepada jiwa yang siap untuk mengingat kekuatannya sendiri. Dengan cara ini, visi James Allen terus beriak melintasi waktu — dari pikiran ke pikiran, dari hati ke hati.
Semoga pikiran Anda jernih, tujuan Anda teguh, dan hari-hari Anda penuh ketenangan.